Walaupun hanya satu botol mineral, pemulung mengambilnya. Walaupun ada satu biji sawit (berondol), petani memungutnya. Walaupun ada satu jam mengajar, guru melakoninya. Nggak mikir nanggung cuma satu. Walaupun sedikit, itu merupakan sumber rezeki. Demi sesuap nasi. Makanan begitu berharga. Jadi, kenapa ada yang buang-buang makanan?

“Bu. Kalau boleh, saya usul. Nasinya nggak usah disebar rata di atas daun pisang ya. Tapi diletakkan di depan orangnya aja Bu,” kataku pada Bu Resi. Penanggungjawab munggahan di sekolah. Ya, waktu itu kami sedang mengadakan munggahan. Munggahan adalah tradisi masyarakat berupa makan-makan menjelang memasuki bulan Ramadhan. Bukan sekadar makan-makan tapi silaturahim.

“Emangnya kenapa Pak?”

“Biasanya Bu kalau disebar itu sering nggak habis, karena kebanyakan,”

“Oh gitu ya, Pak. Mangga aja. Bener tuh, Pak. Takut mubazir ya,”

Munggahan itu tradisi bagus. Kearifan lokal yang perlu dipertahankan. Tapi ada yang perlu diperhatikan. Biasanya banyak makanan yang nggak dimakan lalu dibuang begitu saja.

Acara munggahan di sekolah kami. Alhamdulillah, ludes.

Ternyata, tanpa sadar, kita banyak mubazir makanan, lho. Misalnya saat kondangan. Sering sekali melihat banyak makanan sisa di piring. Bahkan ada yang masih setengah piring. Ini kan mubazir banget.

Mengapa saat kondangan sering mubazir makanan? Bukan cuma nasi tapi juga lauknya. Saat kondangan kan banyak makanan. Berjejer-jejer berbagai menu. Merasa nggak perlu beli atau sedang banyak makanan lalu ngambil makanan sebanyak mungkin.

Semua menu diambil. Seperti bisa menghabiskannya. Eh, baru setengah jalan saja sudah kenyang. Padahal, masih banyak makanan. Akhirnya nggak dimakan lagi.

Bukan nasi atau makanan sendiri. Jadi, walaupun nggak habis, nggak rugi. Mungkin begitu pikirnya.

Demikian perilaku sebagian besar masyarakat kita. Ternyata perilaku ini berdampak pada tingkatan yang lebih besar lho. Ternyata juga, Indonesia merupakan negara terbanyak menghasilkan sampah makanan.

Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia dalam hal membuang-buang makanan. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan 13 juta ton sisa makanan yang terbuang. Setara dengan 500 kali berat monas. Kalau dirata-ratakan, setiap orang membuang 300 kg sampah makanan setiap tahun.

Pada umumnya, orang menganggap bahwa sampah sisa makanan bukanlah sampah yang berbahaya karena bisa diurai, merupakan sampah organik.

Padahal, sampah sisa makanan bisa sangat  berbahaya. Dalam penguraiannya, sampah sisa makanan juga menghasilkan gas metana. Gas ini mudah terbakar. Dalam jumlah banyak, gas metana ini bisa meledak dan terbakar. Di TPA, timbunan sampah yang terperangkap dalam gunungan sampah bisa memicu ledakan.

Salah satu peristiwanya adalah ledakan TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005.

Sebanyak 143 orang meninggal dunia dan meratakan dua desa.

Setelah itu, peristiwa tersebut diperingati sebagai Hari Peringatan Sampah Nasional. Tujuannya agar kita ingat, bahwa peristiwa tersebut jangan sampai terulang. Juga mengingatkan bahwa sampah makanan menjadi sesuatu yang berbahaya. 

Cari Makan Itu Susah.

Jangan Gampang Membuang Makanan.

Makanan kita dapatkan dengan susah payah. Berkeringat membanting tulang demi mendapat sesuap nasi. Masak iya setelah susah payah mendapatkannya, kita mudah saja membuang-buang makanan?

Saya sewaktu kecil dimarah bapak. Lantaran menyisakan beberapa butir nasi di piringnya.

“Nek mangan ki di entek ne to Le. Ora ngrasakne bapak Leh mbrondol kae siji wae dijukok. Nek kowe nyisakne upo sak butir kui Podo wae mbuang-mbuang brondolan,

Artinya begini, “Kalau makan itu dihabiskan, Nak. Kamu apa nggak ngerasain bapak mengumpulkan satu tetes demi satu butiran sawit. Kalau kamu menyisakan nasi satu butir sama saja membuang-buang butir-butir sawit.”

Saat itu saya masih sekolah dasar.  Nasihat itu dikatakan 20 tahun yang lalu. Sampai sekarang masih saya ingat.

Tahu susahnya mencari nafkah, harusnya membuat kita sadar jangan mudah membuang makanan.
Saya ini anak petani sawit. Saat ini jadi petani sawit juga. Buah sawit, bagi petani itu ibarat emas. Satu butir saja diambil.

Tahu rasanya susah mencari nafkah. Untuk dapat satu kwintal saja harus berkeliling satu kapling sawit. Mengintari  pokok batang sawit, mata menatap awas, siapa tahu ada berondolan. Seneng banget kalau bertemu berondolan.

Untuk dapat satu kwintal juga satu berondol aja diambil. Nggak mungkin petani hanya mengambil saat banyak berondol saja. Aneh itu namanya. Makanya, sangat beralasan kalau satu butir nasi setara satu butir berondol. Sekali lagi, aneh kalau satu berondol ditelateni diambil tapi dengan mudahnya membuang sebutir nasi.

 

 

 

 

 

 

 

Mengambil berondol di lahan sawit (dok. pribadi)

Inspirasi Dari Sapi, Makanan Begitu Dihargai

Di rumah ada sapi. Saya sering mengamati, dalam hal makan, agaknya kita perlu meniru sapi. Sapi itu kalau makan selalu habis. Nyaris tak bersisa. Rumput kolo njono atau rumput gajah bahkan jagung tak bersisa mulai dari akar, batang, daun, dan bonggol. Apalagi kalau rumput biasa. Wah, pasti lahap dan habis. 
Sapi aja ngerti memperlakukan makanan. Nggak boleh ada sisa. Masak kita manusia nggak ngerti? Nah, jangan kalah sama sapi, ya.
Sampah makanan mungkin akan sulit dihilangkan. Manusia selalu membutuhkan makanan. Pasti akan selalu ada sisa makanan. Tapi setidaknya sampah makanan itu bisa dikurangi.

1. Ajak keluarga, Ajari Anak

Untuk Menghargai Makanan.

“Bapak, ini nggak habis, buat bapak aja ya. Kan kata bapak, kalau nggak habis dimakan bapak aja, ” kata anak saya dengan terbata-bata. Umurnya 4 tahun. 
Yang punya anak kecil pasti paham kejadian seperti ini.
Anak yang nggak habis makannya. Ini juga yang sering membuat kita membuang makanan. Mau dimakan, sudah kenyang. Kalau nggak dimakan, mubazir.
Ada baiknya anak sedari kecil diajarkan menghargai makanan, dan jangan mubazir makanan. Menganggap makanan begitu berharga karena mendapatkannya susah. 
Setelahnya, orang tua harus siap jadi back-up. Menghabiskan makanan anak yang tersisa. Karenanya, kalau sedang makan bareng, orangtua jangan makan banyak. Mengantisipasi kalau makanan anak nggak habis.

Sejak kecil, anak-anak perlu diajari menghargai makanan. Pembentukan karakter sangat baik dilakukan sejak kecil. Agar dimanapun dan kapanpun dia akan selalu ingat. Bahkan kelak, kaya atau belum kaya, dia tetap menghargai makanan.

Anak sulung saya, sudah terbiasa habiskan makanannya

2. Perbaiki Gaya Hidup

Makan Bukan Sekadar Gaya-gayaan.

Banyak kita mengoleksi makanan bukan karena kebutuhan tapi karena keinginan. Kita sering lapar mata. Memandang makanan kok enak. Padahal perut kita tidak lapar. Kita tidak sedang membutuhkannya. 
Apalagi sekarang media sosial makin marak. Banyak yang pesan makanan hanya untuk pamer saja. Setelah difoto, dimakan sedikit, lalu sudah. Makanan jadi mubazir.
Mulailah perbaiki gaya hidup kita. Jangan mudah membuat sisa makanan. Biasakan ambil makanan sesuai kebutuhan. Ingat juga seberapa besar kapasitas perut. 
Apalagi, nilai sampah makanan tidak kecil, lho. Data BPS menunjukkan, impor limbah sisa makanan pada periode Januari-Oktober 2016 Setara dengan Rp 27 triliun.

Gaya hidup menghabiskan makanan inilah yang perlu dilestarikan

3. Ubah Kebiasaan Saat Kondangan

Jangan lapar mata; semuanya mau diambil. Padahal nggak habis memakannya. Saat makan, pastikan menghabiskannya.
INGAT. Hidangan di kondangan bukan berarti harus diambil semua. Ambil seperlunya saja. Bisa terapkan rumus “sepertiga”.
Maksudnya, kalau di kondangan itu ada 6 menu lauk, ambil saja dari 2 menunya. Lalu isi piring dengan 1/3 nasi pula. Setelah itu, habiskan makanan. Pastikan tidak ada sisa. Agar tidak ada sampah makanan lagi saat kondangan. 

Jangan AJI MUMPUNG. Mumpung ada kondangan, puas-puasin. Terus mengambil banyak makanan. Piring pun penuh. Padahal, tidak akan habis. Lapar mata perlu ditekan. Lebih baik kurang dari pada kelebihan makanan.

Habiskan makanan saat di kondangan (dok. pribadi)

4. Olah Sampah Makanan Menjadi  Kompos

Dengan sedikit kemauan dan kreativitas, kita bisa mengolah sisa makanan, daripada langsung menjadi sampah. Sisa makanan tadi bisa dibuat menjadi kompos. Misalnya dengan membuat komposter; menampung sisa makanan ke dalam ember besar, lubangi kecil-kecil embernya, menambahkan larutan gula atau cucian beras, biarkan dua pekan sampai sampah terurai. Setelah masa penguraian cukup, keluarkan kompos. Kompos siap digunakan untuk membuat subur tanaman di rumah.

Belajar dari Bandung dalam

mengelola Sampah Makanan

Dalam mengupayakan bebas sampah makanan, agaknya kita harus berguru pada kota Bandung. Bandung Food Smart City telah melakukan beberapa program yang sudah dan sedang dijalankan guna terus memberikan penyadaran terhadap masyarakat.

1. Food Racing

Yaitu penyadaran kepada generasi muda bahwa belanja makanan itu harus bijak dan memberikan penyadaran juga bahwa makanan yang tersisa di piring atau minuman yang tersisa di gelas minuman kalian itu berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar dan bahkan berdampak buruk bagi bumi.

2. Food Sharing

Melalui Badami Food Rescue, dilakukan gerakan upaya penyelamatan surplus makanan, waste makanan dan donasi fresh makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga, restoran, hotel, cafe, bakery, catering dan industri makanan lainnya. Kemudian, hasil donasi ini disalurkan ke pada orang lain yang membutuhkan. Dari laman resminya, aplikasi ini sedang dalam pengembangan. Semoga dalam waktu dekat bisa diluncurkan.

3. Urban Farming

Yaitu pemanfaatan lahan terbatas agar bisa dibuat ruang terbuka hijau, pemanfaatan lahan pekarangan agar lebih produktif.

 

Penutup

Memang tidak mungkin menghilangkan sampah makanan. Tapi sangat mungkin dikurangi. Apalagi jika setiap individu peduli mengurangi sampah makanan, dengan sendirinya kesadaran tingkat masyarakat bahkan negara terbentuk. Sampah makanan memang menjadi masalah kita. Tapi jika setiap orang menjadikan dirinya sebagai solusi, maka permasalahan itu akan memudar dengan sendirinya. Semoga kita semakin bijak menghargai makanan.

Sumber bacaan:

1. Program Bandung Food SmartCity

    https://bandungfoodsmartcity.org/program/

2. Bom Waktu Itu Bernama Sampah Makanan

    https://kumparan.com/kumparannews/bom-waktu-itu-bernama-sampah-makanan-1sey9ZZUcFw/full