Habibie kecil adalah sosok yang tidak gampang disuruh mengalah dan disalahkan kalau memang merasa benar. Dia akan ngotot tidak habis-habisnya meskipun kepada adiknya. Namun, jika bersalah dia tidak akan mengajukan protes sedikitpun dan bersedia dimarahi. Habibie begitu teratur dengan kegiatan sehari-harinya. Sejak kecil sering membaca buku dalam bahasa Belanda dan memanfaatkan bahasa Belanda dalam berkomunikasi. Buku-buku saat itu lebih banyak yang ditulis dalam bahasa Belanda. Sejak Taman Kanak-kanak dan sekolah dasar untuk orang di Hindia Belanda. Jadi bukan sekolah untuk orang Indonesia pribumi. 

Dari buku ini kita akan mengetahui masa kecil Habibie yang cenderung lebih banyak diam di rumah.  Buku ini merupakan hasil wawancara yang dilakukan pada tahun 2005. Dilakukan mulai sejak minggu-minggu pertama Habibie dilantik menjadi presiden RI ke-3. Berbagai kejadian yang dialami Habibie dalam melaksanakan jabatan penting kenegaraan tercatat dan terdokumentasi. Disusun berdasarkan wawancara selama 10 hari berturut-turut rata-rata selama 5 jam. Wawancara juga direkam video sehingga otentik.

Keluarganya sangat beragama sekaligus terbuka dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang tuanya mendidik untuk fasih bahasa Belanda dan bahasa Barat lainnya. Ayah Rudy, panggilan kecil Habibie berinvestasi pendidikan kepada Rudi karena melihat bakatnya. Dari delapan anaknya, Rudi anak yang serius disekolahkan meskipun dengan biaya yang mahal. Ayah dan ibu Habibie tak diizinkan menikah dengan orang di luar suku mereka. Ayah dan Paman Habibie menikah dengan wanita bukan dari satu suku. Karena itu pula mereka tidak diterima lagi di lingkungan keluarga Habibie. Dan tidak boleh pulang ke Gorontalo. Ayahnya dan pamannya baru mendapatkan pengakuan keluarga ketika Habibie lahir.

Namun dari pernikahan beda suku itulah banyak kebaikan yang justru didapatkan. Ada sifat-sifat kromosom ibu yang menyempurnakan sifat-sifat kromosom bapaknya sehingga menjadikan Habibie ‘sempurna’.

Sejak kecil Rudy berpendapat kalau ada orang berpandangan lain itu tidak harus menjadi lawan. Kalau orang pendapatnya tidak benar, dia harus berusaha untuk meyakinkan bahwa itu tidak benar. Kalau sudah diperingatkan mereka tidak percaya itu urusan mereka (halaman 47).

Rudy tidak peduli dengan orang lain yang mengganggunya. Dia hanya ingin tahu apa yang diceritakan dalam buku-buku. Olahraganya adalah sepatu roda. Ayahnya membelikannya supaya terus bergerak daripada tinggal di dalam rumah terus. Sepatu roda ini dipakainya hingga masa pendidikan SMA. Tetangganya pun mengenalnya sebagai pemain sepatu roda. 

Ayahnya meninggal tanggal 3 September 1950 karena serangan jantung dengan posisi sedang bertakbir saat memimpin salat isya. Saat itu Pak Harto (28 tahun) datang bertakziah untuk ayahnya. Saat itu usia Habibie 13 tahun. 

Sang ibu menangis dan menjerit-jerit. Sambil memegang jenazah suaminya beliau bersumpah. “Saya akan menjadikan anak-anakmu semua mulai dari yang tertua sampai yang ada dalam kandungan ini menjadi manusia-manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa dengan keringat saya sendiri. Pergilah kamu dengan tenang. Saya akan melanjutkan perjuanganmu (halaman 62). 

Habibie pindah Jakarta, melanjutkan sekolahnya, 40 hari sejak kematian ayahnya. Di sana dia tidur di ruang tamu dan menggunakan alas tikar. Habibie tidak bisa tidur jika masih ada tamu. Kalau tamu sudah pulang baru dia bisa tidur. Karena tidak betah, Habibie pindah ke Bandung. Saat kuliah Habibie mengambil program elektro. Dia tertarik dengan pelajaran matematika dari ilmu pasti jika mata pelajaran lain yang penting asal lulus 2 mata pelajaran itu dia harus hasil ujiannya harus baik. 

Di buku ini kita akan mengetahui kehidupan Habibie yang mungkin jarang diceritakan orang. Tentang kesehariannya, pergaulannya, prinsip-prinsip keluarganya dan juga aktivitas selama kecil hingga dewasa. Sangat bagus  

Habibie ke Jakarta berusaha mendapatkan beasiswa. Dia berminat pada nuklir namun pemerintah memiliki kewajiban beasiswa untuk ke luar negeri hanya untuk mereka yang belajar konstruksi pesawat terbang atau konstruksi kapal laut. Ada kesempatan beasiswa ke Australia. Habibie hanya mau ke Jerman. Ada beasiswa satu tahun lagi. Habibie hanya mau tahun ini. Maka satu-satunya jalan harus membayar sendiri. Habibie masuk dalam kelompok delegasi. Untuk itu orang tuanya diperbolehkan membeli valuta asing. Saat itu valuta asing tidak dijual diperjualbelikan dengan bebas. 

Dari awal Habibie sebetulnya tidak ingin belajar pesawat terbang. Tapi karena mendengar lebih banyak ilmu pasti dan ilmu alamnya maka dia memilih jurusan pesawat terbang. Ternyata Habibie ke Jerman dengan biaya sendiri. Jika teman-temannya dengan beasiswa, maka dia sistem delegasi. Padahal biaya ke sana sangat besar. Apakah ibunya sanggup membiayai? 

Ibunya sudah bersumpah agar semua anaknya mendapatkan pendidikan tinggi sehingga menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Kamar Habibie disewakan. Uangnya digunakan untuk mentransfer setiap tiga bulan sekali. Adakalanya Habibie harus menunggu karena pengirimannya datang terlambat. Teman-temannya mendapatkan paspor biru (beasiswa), Habibie berpaspor berwarna hijau (delegasi). 

 Kisah sosok presiden ke-3 yang dituliskan Makmur Makka sangat menarik. Kita bakal tahu seperti apa prinsip sosok yang berhasil menyelesaikan program doktor pada usia 28 tahun ini. pribadi yang berani. Mengambil jurusan konstruksi pesawat terbang yang tidak dipilih siapapun karena dianggap rumit. Hal ini karena Habibie menyukai aerodinamika. Habibie merupakan manusia Indonesia pertama yang membuat program S3 dalam bidang mesin dan dirgantara khususnya dalam konstruksi pesawat terbang atau kontruksional. Ada banyak pelajaran dari keluarga Habibie yang bisa jadi referensi untuk kita terapkan di keluarga. Selamat membaca.

 

 

Judul Buku      : Saya Bacharuddin Jusuf Habibie

Penulis             : A. Makmur Makka

Jumlah hal       : X + 491 halaman isbn 978 623 279 127 5

Penerbit           : Republika Penerbit

Cetakan           : 1, Desember 2021

Peresensi         : Supadilah (Guru SMAT Al-Qudwah)